Dunia Kerja itu Kejam; Kata Siapa?

Jo March recites a book for Aunt March (for an aesthetically implicit purpose)


Hai..


Setelah berbulan-bulan gue sibuk banget sama keduniawian menjadi mahasiswa tingkat akhir di salah satu perguruan tinggi negeri di Indonesia, akhirnya gue nulis lagi di blog gado-gado ini.


Kali ini pake Bahasa Indonesia aja deh ya, biar lebih santai gitu (alasan aja sih) lebih ke karena ini adalah personal blog gue dan harusnya emang standarnya gak ada alias gue sendiri yang nentuin, jadi yaudahlah ya santai aja. Lagian gue lagi males banget serius-serius karena abis ngerjain project apalagi pake acara nge-proofread tulisan gue yang mana gue harus minimal sepuluh kali proofread sebelum akhirnya gue publish (kalau pake bahasa inggris). 


"Lah emang kalo lo pake bahasa indonesia ga perlu lo proofread gitu?"

"Ya pake! Tapi ah gimana gue jelasinnya, composing paragraphs in your native and second language has a whole different concept and feelings." (Yang tau tau aja)


Oke, lanjut. Jadi sesuai dengan judul di atas gue mau cerita soal pengalaman empat bulan jadi pegawai kerja paksa (bercanda gue suer) — Talent Acquisition di salah satu agensi language service provider gitu deh yang mana kerjaannya kalau nggak ngurusin talent ya nyari talent. (Disclaimer: ENGGA GA SEGAMPANG ITU!!!!!)


Mengutip dari kata kebanyakan orang yang bilang kalau dunia kerja itu kejam, well, instead of kejam gue malah merasa senang karena pengalaman kerja gue kemarin bener-bener insightful, relevant dan applicable banget buat gue kedepannya. 


hm dibuang sayang satu

Mulai dari jajaran staf di dalamnya aka semua kakak-kakak baik hati nan supportive yang membuat yakin kalau ga semua orang di dunia kerja itu wajib ada toxic-nya. Senioritas? Nggak ada! Bener-bener kita semua diperlakukan layaknya teman dan sekumpulan anak-anak baru kemarin yang nyemplung ke hutan belantara cuma bawa korek api sama parang.


Hari pertama, kedua dan ketiga gue akui cukup challenging karena kita bener-bener langsung dilepas dengan bekal korek api dan parang doang tadi. Bayangin tanpa tahu menahu tentang workflow si language service provider ini, kita langsung sat set kerja beneran. 


Awalnya gue takut banget, takut jadi beban dan malah menghambat kakak-kakak lain yang emang initially selalu hah heh hah heh sat set sat set sibuk banget apalagi dengan kehadiran gue. Tapi, along the way dan setelah beberapa kali transfer experience sama tim yang lebih dulu masuk, kerja di sini nggak semengerikan itu. Malah seru banget!


Gue yang awalnya bertanya-tanya gimana caranya divisi ini bisa dapat banyak talent plus managing them all di berbagai pair languages yang bahkan nggak common di telinga dan bisa mencapai goals yang mereka buat sendiri di papan keramat alias Sprint Backlog membuat gue ter-amaze-amaze sendiri.


Dan gue sekarang bisa bilang ke diri ini kalau gue juga bangga sama diri gue sendiri. Gimana enggak? Dari awalnya gue yang boro-boro bisa approaching strangers dan menyusun sedemikian kata atau strategi biar mereka mau gabung sama agensi (template based banget wording gue)sampai bisa jadi orang yang buat wording approach talent dan dipake sama my other coworkers. Sampai hari ini pun linkedin gue masih rame banget perkara talents yang nanyain upcoming project plus mails-mails gratitude ke gue karena udah accepting their connection.


Jujur kadang masih ga nyangka how I significantly grow in terms of mindset. manner, and behaviour when I was doing my apprenticeship in that language service provider agency. Yang paling keliatan aja ya, dulu gue orangnya bodo amat banget asal bukan gue yang dirugikan gue ga akan peduli walau ada badai, hujan, angin ribut pun asal itu nggak nyentuh kulit gue ya gue bakal chill aja. But then it got completely crushed saat gue ditunjuk sebagai scrum master di tim gue. Kayak men???? My apathetic self was forced to die for almost three months long lmao.


Tapi ternyata setelah gue pikir-pikir lagi, ternyata nggak semengerikan itu. Gue anggap ini adalah character development of my coming of age genre film where I have always been doubting my leadership skill because I just don't want to rule, talk much, be seen, stand out, or even create attention with my presence. I just want to have a quiet life where I'm happy, content, and living my best life with my loved ones, that's it. I don't wanna rule anybody or be ruled. That is why I don't fit anywhere but in the realms of my own expectations of how the world should be (Tipikal INFJ).


Oiya satu lagi, yang bikin gue masih agak-agak speechless karena hari pertama gue magang di LSP ini my connection in LinkedIn was barely touch 10 alias cuma 8 connection doang. Tapi setelah gue tiga bulan kerja di agensi sudah sampai 500+ connection kek lo bisa bayangin seserius apa gue kalau udah ada titipan backlog nyari talent from this and that criteria sampai dari yang cuma 8 connection jadi 500+. Bahkan terakhir gue cek udah di angka 600. I guess it is also a significant growth yang mana gue dulu selalu inferior banget pas buka linkedIn karena koneksi dikit, ga punya personal branding yang kuat, tapi sekarang gue jadi confident tiap buka linkedin dan nggak merasa inferior lagi karena memang I have worked hard (Sugohaesseoyo, diniar!!!) and I deserve it. Let's see how I can optimise my acc more and take a whole benefit from it.


In conclusion, lah kok jadi Bahasa Inggris?


"Perasaan dari tadi lo udah ngomong Inggris Indo ngalor ngidul campur campur deh."

"Kelepasan gue.. ini otak udah default doing this code switch and mixing shieeeet—I did it again."

"Yaudahlah ya semoga ada yang ngerti sama maksud tulisan lo ini."

"kaga ada yang ngerti juga kaga pape, I write contentedly for myself so, ada yang baca ya gapapa, nggak ada yang baca juga nggak papa, this merely serves as my memory palace where I could back here and re-reading my own writings and definitely recalls the exact emotion or feeling once I read it.


Damn this girl.


Bye. Thank you.

dibuang sayang dua





Comments

Popular Posts