Gubuk Terapung: Pertemuan, Perpisahan, dan Penyembuhan


Ilustrasi Gubuk di pinggiran sungai dan hutan (Pinterest/Nova Pixy Art)

Di rumahku, keluargaku berseri
Mereka ingin aku ke Jakarta berangkat
Entah untuk menghadiri pernikahan atau sekadar mencari pengharapan
Aku pun ikut bersama mereka, naik mobil melaju

Perjalanan kami lancar tanpa hambatan
Hingga kami sampai di tengah kota, ada kawasan yang tertutup pagar besi
Pak sopir harus minta kunci ke penjaga, lalu melanjutkan perjalanan

Pak sopir ini tidak hati-hati, mobilnya aneh, aku di depan, dia di belakang, padahal dia lah sopirnya
Tapi entah kenapa, itu tidak jadi masalah
Seperti dalam mimpi, semua terasa biasa

Setengah perjalanan, kami berhenti di sebuah gubuk, di tengah hutan dan sungai
Gubuk itu terapung di atas air, seperti rumah di negeri dongeng
Aku ingin duduk di sana, di antara dua gubuk ada jembatan
Yang menghubungkan ke bagian yang lebih jauh dan lebih dalam

Di sana, aku bertemu kawan lama, namanya Angel
Aku senang, rindu, namun juga terharu
Aku memeluknya erat, lalu menggoyangkan bahunya
Aku bertanya, apakah dia masih ingat aku
Dia pun mengangguk, dia juga senang dan haru walau dia sempat lupa

Di tengah-tengah kami, ada seorang wanita
Dia lebih tua dariku, tapi tidak setua ibuku atau nenekku
Dia hanya memakai kemben, wajahnya seperti perempuan-permpuan Bali yang ayu
Dia punya aura spiritual, bak leluhur yang bisa melihat hal-hal yang tak kasat mata

Dia berkata kepadaku, "Tulang punggung dan dadamu hampir lumpuh."

Jika kamu terus seperti ini, lemah dan tegang, lumpuhlah semua
Kamu masih muda, santai saja, rilekskan tubuhmu
Nikmati hidupmu, jangan terburu-buru, jangan tergesa-gesa.


Aku bingung, aku tidak mengerti
Aku hanya tersenyum, "Iya.."
Angel memberi isyarat, wanita itu tahu banyak hal
Dialah orang yang memberi penjelasan spiritual
Atas apa yang tidak bisa dijelaskan secara ilmiah, secara kasat mata

Aku berterima kasih, wanita itu membasuhkan air ke wajahku dengan lembut,
Dia berkata lagi, "Saya tahu kamu anak yang baik."

Kamu ingin membuat orang lain bahagia, kamu ingin bermanfaat
Kamu juga seorang altruis yang humanis, kamu ingin mengubah dunia menjadi lebih baik
Tapi, kamu masih muda, perhatikan juga dirimu
Jangan mengunci beban di dalam tubuhmu
Nanti kelumpuhanmu akan hilang, akan pergi bersama air

"Nikmati.. nikmati.. nikmati..," lirih namun menusuk

Aku mendengarkan, aku merenung
Di pintu gubuk seberang, kulihat kakekku dengan mata nanarnya
Dia tampak khawatir, dia takut aku terpengaruh
Dia tahu, wanita itu beragama Hindu
Aku yang lahir dari keluarga Muslim, mendapat tatapan ketakutan

Apakah aku tidak mau ke Jakarta, atau bahkan tidak mau pulang
Apakah aku akan ikut dengan ajaran orang baru itu
Aku hanya diam, aku hanya memandang sungai
Di gubuk yang berbeda dari keluargaku
Lebih dekat dengan air dan hutan yang hijau
 
30 menit sudah aku merenung menatap kilauan sungai
Kakiku kembali melangkah ke keluargaku, aku berkata, "Ayo pulang saja, aku ingin pulang."
Keluargaku bersyukur, mereka lega aku tidak terbawa

Ternyata tempat itu adalah tempat orang mencari ketenangan
Seperti melukatnya orang Bali, mereka harus memberi sesuatu sebagai rasa syukur
Kepada orang yang telah menuntun mereka dan membuat mereka mengalir bebas dan ringan
Tapi aku tidak punya niat begitu, aku tidak meminta apa-apa saat berhenti di sini
Wanita itu pun tidak meminta apa-apa, dia ikhlas membantu

Yang memberi sesuatu malah keluargaku, mereka memberi sebungkus pudak sagu
Mereka menyuruhku memberikannya kepada wanita itu sebagai tanda terima kasih

Lalu aku pulang, bersama keluargaku
Meninggalkan gubuk, sungai, dan hutan
Meninggalkan Angel, wanita itu, dan ajarannya
Meninggalkan mimpi, renungan, dan kelumpuhan

The end.

Ilustrasi Gubuk di pinggiran sungai dan hutan (Pinterest)

```

Comments

Popular Posts