DIA YANG HILANG DI LORONG KENANGAN


Di sekolah masa penuh harapan, lorong-lorong panjang penuh pintu menjadi saksi bisu. Setiap pintu menandakan ruang bagi jiwa-jiwa yang tumbuh, dari tak tahu hingga tahu. Di sinilah aku bertemu dengannya lagi. 

Kami hanyalah dua orang asing yang pernah berbagi sesuatu, kini terkunci dalam kebekuan. Aku mencuri pandang, hanya untuk melihat ekspresi dinginnya yang mematikan kehadiranku. Tatapannya tajam, penuh kebencian yang tak terucap. Seolah aku tak pernah ada.

Aku bertahan, mencoba membaca serpih harapan yang tersisa di wajahnya, tapi yang kutemukan hanyalah dinding tinggi yang tak bisa kudaki. Masih bertahan, berharap ada celah di mana aku bisa masuk lagi ke dunianya. Namun aku lelah. Aku menyerah. 

Jika dia membenciku, maka biarlah. Aku akan menyamakan langkahku dengannya, mengunci semua perasaan yang pernah hidup. Biar sama-sama menderita, biar luka ini menjadi simfoni duka bak nada derita.

Beberapa saat berlalu, kami berpapasan di lorong. Dia tetap sama—tak acuh, tanpa pandang, tanpa kata. Hanya ada jeda singkat yang menancapkan perih di hatiku. Aku ingin berbicara, ingin menuntut jawaban, tapi kakiku hanya mampu melangkah. 

Lagi lagi, hanya kekosongan yang menggema. Rasanya seperti menelan duri, perih, tapi tak ada yang bisa kulakukan. Aku berjalan, menegakkan dagu, menyembunyikan patah hati yang berteriak di dalam. Kami terus berjalan berlawanan arah, seperti dua garis yang tak akan pernah bertemu.

Namun, sesuatu yang aneh mulai terjadi. Saat aku terus berjalan, ada getaran yang tak terjelaskan. Dia seperti mengikuti langkahku. Aku berhenti, lalu berputar balik. Dia pun begitu, membalas gerakanku dengan cermin yang sama. Aku maju, dia maju. Aku berlari, dan bayangannya tetap mengejarku.

Ia berubah seperti bayangan yang tak pernah ingin kulepaskan, ia terus mengikutiku. Hatiku memanas dengan perasaan yang tak kukenal—adakah ia masih peduli? Adakah ini cara tak terucapnya untuk kembali?

Hingga akhirnya, dia membuka mulut, mengukir kata-kata yang hampir kudengar. Tapi sebelum itu menjadi nyata, kesadaranku pecah. Seperti kabut yang menghapus cahaya, semuanya menghilang. 

Aku tersentak dari lembayung asa, kembali ke dunia yang dingin dan kosong. Menggenggam hanya satu kalimat yang tertinggal, menggema di kepalaku seperti bisikan yang menyayat:

“Kita tak pernah ada.”

Di lorong kenangan itu, aku kehilangan segalanya—tatapan yang tak pernah sampai, perpisahan tanpa pamit, dan dirinya yang adalah seluruh hidupku.



```

Inspired by a collage of dreams, hopes, and the longing stares of a friend of mine. 

Comments