Review dari dalam kubur: Menyingkap Trauma dan Kebencian yang Tak Kunjung Padam

Sebuah review Buku dari dalam kubur Karya Soe Tjen Marching

Sampul novel dari dalam kubur karya Soe Tjen Marching

Kamis, 20 Februari 2025 — Ada buku-buku yang selesai dibaca, lalu perlahan memudar dari ingatan. Ada pula yang tertinggal begitu dalam, seolah menjelma luka menyala yang tak kunjung padam. dari dalam kubur adalah jenis yang kedua—sebuah novel yang tak hanya menyayat hati, tetapi juga merangsek masuk ke dalam kesadaran, memaksa kita untuk menatap langsung borok sejarah yang selama ini berusaha dikubur dalam-dalam.

Setelah seminggu menelusuri halaman demi halaman, akhirnya saya menuntaskan novel yang begitu mengguncang batin, moral, bahkan iman. dari dalam kubur bukan sekadar fiksi, melainkan sebuah lorong gelap yang membawa kita ke masa lalu yang tak pernah benar-benar pergi. Soe Tjen Marching menuliskan sejarah dengan tinta luka, menghadirkan kisah yang begitu sesak, penuh kebencian, dendam, dan pertanyaan-pertanyaan yang menggantung di udara tanpa jawaban.

Mengangkat tragedi 1965 dan dampaknya yang mengakar hingga generasi berikutnya, novel ini menghadirkan kisah yang sesak dan getir melalui sudut pandang Karla dan ibunya, Lydia Maria (Djing Fei). Sejak halaman pertama, pembaca sudah diseret masuk ke dalam dunia yang dingin, penuh kemarahan, dan luka yang membusuk. Karla tumbuh mengagumi mamanya yang tak seperti ibu-ibu lain pada umumnya, tetapi seiring waktu, kekaguman itu berubah menjadi kebencian yang begitu mendalam, bahkan sampai muncul keinginan untuk menghabisi nyawa perempuan yang melahirkannya.

Soe Tjen Marching menulis dengan gaya yang begitu intens, seolah menempatkan kita langsung di dalam kepala Karla. Setiap pikirannya terasa hidup, setiap luka yang ia pendam seperti beresonansi dengan pengalaman banyak orang—terutama anak perempuan yang pernah merasa tersisih dalam keluarganya sendiri. Karla merasa diabaikan, dikesampingkan, tak pernah diajari tentang keperempuanannya, sementara saudaranya, Dong yang telah berganti nama jadi Katon, mendapatkan perlakuan lebih baik dari sang mama (dari sudut pandang Karla). Ada keterasingan yang tumbuh di hatinya, semakin kuat seiring dengan kesadaran bahwa ia lahir dari seorang ibu berdarah Tionghoa tetapi tak memiliki paras yang mencerminkan keturunan tersebut.

Di balik dinding rumah mereka, ada sunyi yang lebih tajam daripada pisau. Sang ayah yang pasif, ibu yang penuh rahasia dan amarah, Katon yang juga tak kalah dinginnya yang kadang menjadi satu-satunya teropong antara Karla dan mamanya, dan Karla yang tak pernah tahu di mana tempatnya dalam keluarga ini. Semua adalah bayang-bayang dari peristiwa kelam yang menghancurkan Lydia Maria di masa lalunya—ketika ia berada di situasi yang membuatnya dianggap sebagai anggota Gerwani. Di situlah awal mula ia mengalami siksaan tak terperi, dan kehilangan segalanya, bahkan harapan.

Mungkin, mudah untuk mengutuk Lydia Maria atas sikap dinginnya terhadap Karla. Mudah pula untuk menyalahkannya karena tidak memberikan kasih sayang ibu yang pantas diterima seorang anak. Sampai ketika, datanglah sosok Wulan, yang kerap Karla sabut sebagai babi gendut yang bau asam (walaupun hanya dalam pikiran). Wulan adalah seorang mahasiswa yang meneliti sejarah kelam peristiwa ’65 untuk tesisnya melalui biografi Lydia Maria. Tanpa disadari, penelitiannya justru membangkitkan luka-luka lama yang selama ini berusaha dikubur. Melalui file yang berisi tulisan asli Lydia Maria, Karla akhirnya melihat sisi lain mamanya—sisi yang tak pernah ia pahami sebelumnya. Dan di sinilah letak kekuatan novel ini: ia mengajak kita untuk tidak hanya membenci, tetapi juga memahami.

Namun, bagaimana cara kita memahami kebencian yang telah mengakar? Bagaimana kita menerima bahwa seorang ibu bisa begitu membenci dan dengan entengnya memukul anaknya sendiri? Bagaimana kita menelan kenyataan bahwa Karla yang bahkan sejak masih jadi gumpalan daging di perut adalah sesuatu yang bahkan ibunya sendiri ingin enyahkan? 

Tak terhindarkan, pada bagian yang mengungkap sisi ibunya, pembaca dipaksa untuk memahami, bahkan mungkin—meski pahit—membenarkan. (Kalau saya sendiri sih, tetap tidak akan pernah membenarkan perlakukan sang mama yang melampiaskan lukanya ke anak perempuannya itu). Tetapi, Ada satu kalimat dalam novel ini yang terpatri dalam benak saya, berhasil membuat begitu menganga saat mata ini berhasil menelisik kata demi kata,

“Kamu nanti bakal tahu kenapa saya sungguh pengin nguret bayi saya sendiri, semoga kamu bakal ngerti.” (Hal. 194) 

Kalimat itu menghantam seperti palu—berat, dingin, dan penuh kepedihan yang tak bisa dielakkan. Seolah-olah, pilihan untuk melahirkan Karla adalah sebuah kesalahan besar—bukan hanya bagi ibunya, tetapi bagi Karla sendiri. Karena bukankah lebih baik tidak dilahirkan sama sekali, daripada hidup di dunia yang menolak keberadaanmu?

Buku ini tidak hanya tentang trauma keluarga, tetapi juga tentang luka kolektif bangsa ini—tentang bagaimana negara bisa begitu bengis membentuk takdir seseorang, tentang bagaimana manusia bisa dihabisi atas nama “kebenaran” yang dipaksakan. Peristiwa 1965 yang seharusnya menjadi bagian dari sejarah, justru masih berdenyut dalam kehidupan mereka yang selamat, diwariskan dalam bentuk kemarahan, rasa bersalah, dan kebencian yang diam-diam berakar dalam.

Melalui karakter-karakternya, kita melihat bagaimana sejarah membentuk manusia, bagaimana kekerasan sistematis merenggut kemanusiaan seseorang, dan bagaimana luka yang dibiarkan membusuk tak pernah benar-benar hilang. Soe Tjen Marching tidak berusaha memberikan jawaban atau solusi. Ia hanya menampilkan kenyataan—dengan segala kebrutalannya, dengan segala ketidakadilannya—dan membiarkan kita merasakannya hingga ke tulang.

Tak hanya menguliti luka-luka personal, dari dalam kubur juga menelanjangi kenyataan yang lebih luas: rasisme yang mengakar dan kesenjangan kelas yang begitu telanjang. Dalam dunia yang dibangun Soe Tjen Marching, menjadi minoritas berarti selalu berada di ujung pisau, menjadi perempuan berarti harus menanggung beban yang lebih berat, dan menjadi miskin berarti nyawa bisa begitu mudahnya dianggap tak berharga. Semua ini tidak sekadar menjadi latar, tetapi menyatu dalam daging cerita—terselip dalam dialog yang minim, dalam tatapan penuh prasangka, dalam nasib yang tak pernah berpihak pada mereka yang berada di bawah. Novel ini menunjukkan betapa kekerasan dan diskriminasi itu tidak hanya terjadi dalam ruang-ruang interogasi atau di kamp tahanan, tetapi juga di meja makan keluarga, di percakapan sehari-hari, di cara dunia memilih untuk diam ketika satu per satu manusia dihabisi.

Ada kematian yang terjadi dalam novel ini, tetapi lebih dari itu, ada kematian yang lebih sunyi—kematian dalam hidup, ketika seseorang kehilangan kepercayaan pada kebaikan, kehilangan harapan, kehilangan dirinya sendiri.

Dan mungkin inilah yang paling menyakitkan dari novel ini: bagaimana trauma dan rasa kehilangan menjalar dalam diam. Tak ada ledakan emosi yang berlebihan, hanya keheningan yang lebih tajam dari pisau. Rumah Karla bukanlah tempat berlindung, melainkan kuburan bagi semua yang tak pernah bisa mereka ucapkan. Seakan tembok-tembok rumah itu menyerap tangisan yang tertahan, kemarahan yang ditelan, dan ketidakadilan yang dipaksa untuk dilupakan.

Lalu, ada satu aspek yang membuat novel ini semakin nyata: bagaimana masyarakat kita begitu mudah memberi label, mencap seseorang hanya karena ia berbeda, hanya karena ia tak sesuai dengan norma yang dianggap ‘indah’. Karakter-karakter dalam novel ini digambarkan dengan brutalnya realitas: Bu Bopeng, yang dipanggil demikian hanya karena wajahnya penuh bopeng bekas jerawat; atau tokoh lain yang dianggap seperti binatang hanya karena penampilan fisiknya. Semua ini bukan sekadar detail tambahan, melainkan cerminan bagaimana kejamnya dunia menilai manusia berdasarkan apa yang terlihat di permukaan. 

Dan mungkin itulah inti dari dari dalam kubur: bahwa sejarah tak pernah benar-benar mati, bahwa luka-luka itu tetap berdenyut, bahwa manusia terus dihakimi bahkan ketika mereka tak meminta untuk menjadi bagian dari tragedi. Soe Tjen Marching dengan berani mengangkat borok-borok yang berusaha ditutup rapat oleh negara, oleh masyarakat, bahkan oleh keluarga sendiri.

Sakit rasanya membaca bagaimana penderitaan, penyiksaan, dan kematian digambarkan dengan begitu miris, seolah itu hanya bagian dari kehidupan sehari-hari. Dan mungkin memang begitu, bukan? Bahwa bagi sebagian orang, penderitaan bukanlah sesuatu yang mengejutkan, melainkan sesuatu yang sudah biasa. Betapa mengerikannya dunia di mana kejahatan menjadi rutinitas, di mana manusia hanya dianggap angka, di mana tragedi hanya menjadi catatan kaki dalam sejarah.

Namun, di tengah kegetiran yang menyesakkan, Soe Tjen Marching dengan cerdik menyisipkan dark comedy yang begitu tepat porsinya—sebuah ironi yang justru memperdalam luka. Ada momen-momen di mana tawa saya pun pecah bukan karena kelucuan yang ringan, melainkan karena absurditas hidup yang begitu kejam hingga satu-satunya pilihan adalah tertawa. Seperti saat Lydia Maria, dengan dingin dan penuh kebencian, melontarkan kalimat-kalimat yang begitu pahit hingga terasa seperti lelucon hitam yang menusuk melalui isi kepalanya. Bahkan ketika ia dalam penjara dan mempertahankan nyawa. Tawa yang muncul di momen-momen ini bukanlah pelepasan, melainkan refleksi dari betapa kacaunya kenyataan—dan di sanalah letak kegeniusan novel ini, membuat kita terpingkal di saat yang paling ingin kita tangisi.

Halaman pembuka dari dalam kubur

Pada akhirnya, dari dalam kubur tetap setia pada kata-kata pembukanya: “Kisah ini bukan fiktif belaka. Nama tokoh, tempat, dan peristiwa, bahkan lebih nyata dari kisah nyata.” Dan di situlah letak kengerian sesungguhnya. Bahwa ini bukan hanya kisah yang bisa kita tutup dan lupakan setelah halaman terakhirnya dibaca—ini adalah kenyataan yang terus menghantui, yang menolak untuk dikubur, yang tetap hidup dalam ingatan, dalam dendam, dalam pertanyaan yang tak pernah menemukan jawabannya.

Novel ini mengajarkan bahwa terkadang, memahami lebih penting daripada menghakimi. Bahwa di balik setiap kebencian, ada luka yang lebih tua, lebih dalam, dan lebih rumit dari yang bisa kita bayangkan.

Namun, sebelum menutup bait terakhir, ada satu hal yang perlu digarisbawahi: buku ini bukan bacaan ringan. Ia mengandung tema-tema yang begitu keji—genosida ’65, pembunuhan, pembantaian manusia, pemerkosaan, dan berbagai bentuk kekerasan yang begitu nyata, begitu dekat, begitu mengoyak. Ini bukan sekadar novel, melainkan cermin dari sejarah yang berusaha dikubur, tetapi terus berdenyut dalam ingatan. Membaca dari dalam kubur berarti bersiap untuk menghadapi luka yang mungkin belum pernah kita sentuh, dan bagi mereka yang memiliki trauma terkait, perlu ada kesiapan mental sebelum menyelami setiap kata yang dituliskan Soe Tjen Marching.

Pada akhirnya, dari dalam kubur adalah sebuah pengingat. Tentang sejarah yang ditutup-tutupi, tentang manusia yang dihapus dari catatan, tentang suara-suara yang dipaksa untuk diam—tetapi tetap ada, tetap hidup, dan tetap menuntut untuk didengar.

Sampul novel dari dalam kubur karya Soe Tjen Marching

dari dalam kubur (4.9/5)

(13-19 Februari 2025, 508 halaman)

All illustrations above are exclusively property of the author. 

Comments